Tuesday 7 October 2014

“Tidak ada manusia yang stagnan” demikian isyarat yang ditampakkan oleh sosiolog Auguste Comte, Talcott Parsons, juga Charles Darwin. Ketiganya mengisyaratkan terjadinya pergerakan yang dialami manusia yang membawa pada sebuah perubahan sosial. Bagi Parsons perubahan sosial tersebut merupakan “gerak dasar’ bagi setiap manusia (masyarakat), dan merupakan seleksi alam bagi Darwin, dan arus perubahan ini akan terus berjalan karena merupakan hukum evolusi sosial-yang tidak dapat dihentikan-sebagaimana diteorikan oleh Comte.
Seturut perputaran waktu, spektrum perubahan yang terdapat di masyarakat semakin dinamis. namun yang mesti diwaspadai, laju perubahan tidak selalu mengarah pada perubahan yang positive, namun cenderung negative. Hal ini dipengaruhi oleh banyak factor, seperti factor geografis, politik, ekonomi, agama, dan perkembangan zaman yang membayangi kehidupan sosial manusia.
Hari ini kehidupan manusia telah sampai pada sebuah era yang menghendaki hilangnya batasan-batasan diantara manusia. Sebuah zaman yang kita kenal sebagai era Globalisasi. Globalisasi menjadi klimaks (bukan antiklimaks, karena mungkin akan ada fase selanjutnya)  dari fase perkembangan peradaban manusia. Sebuah era yang ditandai oleh banyak penemuan-penemuan baru diberbagai bidang, dan telah dianggap membawa manusia ke perubahan peradaban yang begitu fantastic.
Globalisasi membawa visi membangun kehidupan yang modern, yang akan memberikan kemudahan dalam kelangsungan hidup manusia. Secara praktis, manusia dibikin mudah oleh temuan modernitas; menciptakan kemungkinan bagi perbaikan taraf hidup manusia, mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan beban berat manusia. Era ini (baca: Globalisasi) telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia disegala penjuru dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara mudah perkembagan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari hari ke hari.
Arus Globalisasi disertai juga oleh perubahan sosial yang begitu compleks. Komplekstias perubahan tersebut meliputi (hampir) seluruh dimensi kehidupan manusia. Tidak hanya pada dimensi ekonomi-politik (yang merupakan pintu masuk Globalisasi) tapi juga menyerang sisi kebudayaan suatu Negara tak terkecuali juga sisi keagamaan (religiousitas) masyarakat kita. Perubahan social yang begitu “dramatis” telah melanda kehidupan beragama kita dan merupakan persoalan baru dan tantangan tersendiri bagi sebuah Agama yang masih eksis di tengah-tengah kehidupan yang modern nan global.
Salah satu persoalan krusial sebagai dampak proses gloobalisasi yang terkait dengan kehidupan keagamaan adalah semakin menipisnya ruang “religousitas” dalam kehidupan manusia. Temuan-temuan empiric dan perkembangan pengetahuan menghadapkan kepada manusia (beragama) sebuah realitas akan kekuasaan manusia di muka semesta ini. Hal-hal yang seblumnya dianggap sebagai “misteri Tuhan” satu persatu, telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimentasi yang mereka lakukan. Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan daya signifikansi dan perannya di tengah kehidupan manusia. Dan masih ada banyak permasalahan lagi yang timbul karena dampak proses Globalisasi. Hanya sekedar menyebutkan; ada permasalahan “dehumanisasi’ dalam bidang social, terbukanya pola “pasar bebas” dalam bidang ekonomi, tersebarnya praktik “demokrasi liberal” dalam bidang politik, dan ancaman lunturnya “kearifan local” dalam bidang kebudayaan. Tapi makalah ini tidak akan mengeksplor semua permasalahan-permasalahan tersebut, tapi akan lebih terkonsentrasi pada persoalan keagamaan.   
Tantangan keagamaan dewasa ini, terutama banyak mengarah kepada agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah penganut terbanyak di dunia. Juga karena adanya persilangan Idology dan Paradigma dalam mmelihat muatan-muatan globalisasi yang saat ini tengah didominasi oleh peradaban Barat. Perselisihan antara Islam dengan Barat juga menjadi bagian yang telah memberikan warna tersendiri dalam era globalisasi.
Substansi penulisan makalah ini akan banyak berbicara seputar islam dan globalisasi. Dalam bab pembahasan, akan dibahas seputar definisi globalisasi secara umum, dan secara khusus akan dilihat dari perspektif Islam. Juga tentang benturan-benturan Islam dengan Barat (sebagai peradaban yang lebih dominan), dan penulis mencoba melihat posisi (reposisi) Islam, karena ini akan sangat berkaitan dengan eksistensi Islam di era Globalisasi.

1.  Eksistensi Agama di Era Globalisasi
Agama telah mampu mempertahankan diri hingga hari ini, namun sebarapa jauh ia telah berubah dan dapatkah ia menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman? Gerakan modernisasi dan globalisasi menghadapkan agama kepada berbagai persoalan pelik, persoalan yang sedang dan akan terjadi jika peranan agama tidak betul-betul diberdayakan dalam kehidupan masyarakat-khususnya masyarakat muslim dan agamanya itu sendiri yaitu Islam.
Pada tanggal 28 Agustus samapai dengan 5 September 1993 di Chicago, Amerika Serikat, berlangsung sebuah pertemuan penting tingkat dunia, yaitu konferensi Parlemen Agama-agama Sedunia (World Parlement of Religions). Konferensi ini melahirkan sebuah keputusan yang mempersatukan agama dalam melawan cara hidup yang tidak beragama, serta bersama melakukan kebijakan bagi kepentingan perbaikan ummat manusia, dari berbagai hal, baik pemahaman terhadap kitabnya masing-masing, dan lebih jauh membahas tarap kehidupan sosial antara masyarakat pemeluk agama.
Kita melihat agama pada abad sekarang memang betul-betul dihadapkan pada permasalahan yang amat pelik, dikarenakan adanya era modernisasi dan globalisasi pembangungan. Fenomena ini tak dapat dielakkan begitu saja, sebagai alasan karena ini merupakan sebuah kemajuan disatu sisi, sebab manusia mempunyai naluri yang produktif dalam artian bahwa manusia dapat mengembangkan potensi yang ada, yaitu kemajuan berpikir dan berkarya, salah satunya adalah globalisasi. Dan selanjutnya kita mengkaitkan globalisasi sebagai dasar kebudayaan manusia yang memang terus berkembang dengan pesat, dari berbagai sektor baik sosial, ekonomi, politik dan bioteknologi.
Ide dasar dari globalisasi adalah ditandainya dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideologi dan tata perdagangan dunia baru dibawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global, walaupun apa yang menjadi aturan globalisasi itu pun belum jelas.
Sedangkan agama pun mempunyai norma-norma yang dianggap abadi, dan harus ditegakkan dengan segala konsekwensinya. Salah satu konsekwensi tersebut adalah penumbuhan aturan-aturan agama kedalam aturan-aturan masyarakat (Abdurrahman Wahid, "Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan"). Dan agama merupakan faktor utama dalam mewujudkan pola-pola persepsi dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu mempengaruhi perkembangan dunia dan menentukan cara manusia menundukkan dirinya didunia ini. Sebaliknya manusia mempunyai sejarah yang memaksakan perubahan dan penyesuaian terus menerus kaitannya dengan kegiatan manusia yang mempunyai dasar potensi pengembangan lebih-lebih dalam masyarakat yang sedang berubah dengan pesat.
Dalam hal ini kita tidak ingin adanya dikotomi, sebagai sample bahwa agama adalah sumber berbagai hambatan sosial dan mental yang perlu diatasi untuk mensukseskan pembangunan dan perubahan-perubahan yang signifikan bagi harapan dan kelayakan hidup yang digambarkan oleh program globalisasi. Pun sebaliknya globalisasi juga melahirkan kecemasan-kecemasan, bagaimana dengan permasalahan sekitar pemiskinan rakyat dan marjinalisasi rakyat, serta persoalan keadilan sosial. Dan sekaligus timbul pertanyaan bagi kedudukan globalisasi, apakah dalam hal pembangunan ini dapat memastikan harapan-harapan yang dinginkan oleh masyarakat banyak? Terutama masyarakat miskin, dan menumbuhkan keadilan sosial?  Kembali pada pengertian diantara keduanya yaitu Agama dan Globalisasi. Agama sebagai pandangan dunia dapat di terangkan bahwa mengatur dengan petunjuk-petunjuknya, pada seluruh bidang kehidupan manusia, dan agama pun mempunyai tujuan-tujuan yang mulia yaitu dengan menjanjikan kebahagiaan, dengan ini hendak dikatakan bahwa berbagai bentuk kepercayaan dan ideologi yang implementasinya diyakini akan mendatangkan kebahagiaan, tak kalah dengan tujuan-tujuan yang dicanangkan oleh program globalisasi, bahwa ini pun menjanjikan kebahagiaan, kelayakan kehidupan ummat manusia.
Wilayah yang sama dan tujuan yang sama adalah kepentingan manusia dalam ragka pemenuhan kebutuhan hidup, sesuatu yag dpaat memberikan manusia kegairahan dan kebahagiaan, untuk memperoleh yang terakhir (kebahagiaan) manusia mencangkuli wilayah tertentu dari agama secara besar-besaran; sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu ironi bahwa petunjuk-petunjuk agama yang semula berpretensi untuk menciptakan suasana "kekudusan" dalam diri manusia yang sompong, kini justru ditantang untuk menyesuaikan diri dengan suasana kepuasan manusia. Globalisasi yang mana di isukan dibuat dan dicanangkan oleh kapitalisme menimbulkan peristiwa yaitu krisis pembangunan, yang terjadi di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilan kapitalisme Dunia ketiga tengah mengalami kebangkrutan dan terjadinya ekploitasi manusia atas manusia yang lain.
Jika kita lihat kembali, bahwa pembangunan-sebagai implikasi dari program globalisasi tidak patut dipersalahkan disatu pihak, dipihak lain agama yang mempunyai peran sebagai media spritual tidak lantas dituduh dan dijadikan alasan penghambat pembangunan, uraian diatas merupakan refleksi terhadap peranan dan perjalanan agama-maupun perubahan yang diciptakan oleh insting manusia yang selalu menuntut perubahan di satu pihak, dipihak lain agama mempunyai aturan yang harus dijalankan.
Hubungan antara agama dan kebudayaan ( yang direfleksikan dengan globalisasi) merupakan suatu yang ambivalen, sama-sama kalau boleh berprasangka-membutuhkan, karena kalau kita lihat agama banyak memanfaatkan kebudayaan manusia dan sebaliknya kebudayaan sendiri mendatangkan istilah agama, yang melalui perenungan dan pemikiran manusia.
Sejak dikembangkannya kesepakatan The Bretton Woods di Amerika Serikat yang sesungguhnya didorong oleh kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional dan yang merupakan aktor terpenting dari globalisasi, unsur-unsur yang menyebabkan kehancuran globalisasi disini adalah adanya paksaan-paksaan, globalisasi yang tadinya untuk mensejahterakan manusia ternyata melebihi batas, contoh yang telah dikemukakan diatas yaitu dengan mengeksploitasi manusia dengan tanpa kejelasan dan sebab yang menjadi dasar eksploitasi.
Akibatnya, pada saat ini telah mulai tumbuh gerakan-gerakan tantangan maupun resistensi terhadap globalisasi baik di tingkat internasional maupun tingkat lokal. Area-area resistensi dan tantangan terhadap globalisasi tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Pertama, tantangan gerakan kultural dan agama terhadpa globalisasi, sudah lama terdapat fenomena lahirnya gerakan yang berbasis agama maupun gerkakan rtesistensi budaya melalui pembangunan dan globalisasi. Gerkaan berbasis agama ini timbul dimana-mana dan dengan label bermacam-macam pula.
Kedua, tantangan dari new social movement dfan Global civil society terhadap globalisasi new social movement adalah geraka sosial untuk menentang pembangunan dan globalisasi, seperti gerkan hijau, feminisme, gerakan masyarakat akar rumput. Misalnya saja gerakan resistensi terhadap pembangunan dam dibeberapa tempat diasia.
Ketiga, tantangan gerkan likungan terhadap globalisasi. Meskipun tidak semua gerakan lingkungan secara langsung menentang globalisasi, berkembangnya gerakan lingkungan untuk pemberdayaan rakyat (eko-populisme) dan gerakan lingkungan yang dipengaruhi kesadaran lingkungan bersumber dari barat. Gerakan ini banyak di pengaruhi oleh pikiran Rachel Catson dalam "Silent Spring" yang membongkar tentang kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan praktyek ekonomi modern seperti penggunaan kimia dalam pertanian.
Sementara itu, eko-populisme, lahir sebagai keprihatinan terhadap rusaknya lingkungan karena juga menghancurkan kehidupan rakyat sekitarnya oleh sebab itulah gerakan lingkungan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan hak-hak perlindungan adat, dalam pada itu muncullah gerakan resistensi lingkungan didunia ke-tiga seperti grakan masyarakat Chipko (Hipko Movement) di india, yakni suatu gerakan , terutama kaum perempuan menentang perusahaan penebangan hutan. Walhi , suatu organisasi jaringan gerakan lingkungan di Indonesia dalam perjalanan organisasinya juga menjadi gerakan resistensi terhadap globalisasi. (yang ditulis oleh Dr. Mansour Fakih dalam Bukunya yang berjudul "Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi").
Bicara tentang modernitas dengan segala manfaat dan mudaratnya sudah menjadi fakta keras dalam kehidupan manusia modern. Tak seorangpun dapat lari dari padanya. Ia sepenuhnya sudah memembuana. Islam sebagai agama yang monoistik terakhir sesudah Yudaisme dan agama Kristen harus membuka matanya lebar-lebar untuk belajar secara kritikal dari pengalaman sejarah para pendahulunya. Pelajaran tentang keberhasilan atau kegagalan mereka dalam menghadapi tantangan zaman menjadi sangat krusial bagi islam yang sekarang, demi menentukan posisi globalnya sendiri untuk turut menyelamatkan masa depan manusia dari serbuan nihilisme dan berpartisipasi dalam membangun sebuah duniayang adil dan damai. Bersama dengan agama-agama yang lain, islam harus tanpa henti mempelopori lahirnya paradigma baru bagi sebuah tatanan dunia berdasarkan nilai-nilai spiritual yang ditawarkan oleh semua. Paradigma lama berupa " kita versus mereka" sekalipun masih dipegang oleh segelintir orang, sudah tidak sejalan lagi dengan perasaan yang kuat tentang tunggalnya kemanusiaan. Doktrin ini secara berangsur tetapi pasti telah dimiliki semua agama dan kebudayaan. Dengan modal ini, maka ada harapan bagi sebuah hari depan yang baik dan damai bagi jenis kita sebagai homo sapiens, manusia bijak.

2. Eksistensi Agama Islam di Era Globalisasi

Globalisasi yang melanda dunia tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada berbagai bidang. Seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama. Globalisasi yang terjadi di berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi dunia di masa yang akan datang.
Dalam era globalisasi saat ini, tentu akan terdapat perbedaan-perbedaan dalam peradaban. Perbedaan tersebut kadangkala dapat memicu terjadinya pertarungan. Namun, ada kalanya pertarungan peradaban tidak perlu dilakukan. Terlebih jika peradaban yang ada dapat hidup berdampingan, terjadinya dialog, dan saling memberi. Tetapi, tetap saja, kita sebagai umat muslim tidak boleh melupakan agenda besar dibalik globalisasi.
Pertarungan yang terjadi dapat berupa pertarunga ideology, dan perebutan pengaruh antara antara Islam dan Globalisasi. Globalisasi direpresentasikan melalui perdaban Barat dengan spirit modernitasnya, yang dalam banyak wilayah tidak sejalan dengan prinsip Islam. Sehingga dalam banyak perjalanan globalisasi, Islam kerap berbenturan dan atau bersilang pendapat dengan Barat. Dalam keadaan seperti ini Islam harus mampu menemukan jati dirinya ditengah menguatnya arus globalisasi yang mengancam kepunahan agama, tentunya agar Islam mampu bertahan hingga akhir zaman.

a.   Benturan Islam dengan Barat
Benturan Islam dan Barat (globalisasi) merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan.  Dengan latar belakang budaya dan ideologi yang khas di antara keduanya. Dan disinalah akan dikupas secara mendalam apakah keduanya bisa berjalan secara harmonis, bagaimana globalisasi dengan segala kekuatannya dan Islam yang memiliki setting dan alasan tersendiri yang berbeda keberadaannya. Hal ini disebabkan karena sementara agama bertumpu pada apa yang disebut Rodulf Otto the Holy atau the sacred dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi dengan segala prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang justru menyisihkan segala bentuk sakralitas.
Islam adalah kekuatan dinamis masyarakat muslim yang mengendalikan segala aspek kehidupan, mulai dari cara berpakaian, pergaulan, budaya, politik, keilmuan dan seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi ciri khas bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan dengan perkembangan situasii dan zaman. Sebagaimana pada era globalisasi ini, dimana muncul ketegangan baru antara Islam dengan Barat. Keduanya seolah berhadapan sebagai lawan yang saling menghancurkan. Apakah demikian? Nah, disinilah kita dituntut untuk mengetahui apakah diantara keduanya bisa berjalan sejajar atau setidaknya Islam dapat mengimbangi posisinya dalam arus keganasan globalisasi yang terjadi saat ini.
Sebagai umat islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia islam, baik di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun Barat. Dari kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cendrung bersifat resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat islam dari pengaruh politik negatif berbagai pemikiran dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat tertentu, mereka berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan islam dan identitas kaum muslimin.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat islam yang lain cendrung menerima apa yang datang dari Timur maupun dari Barat tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal itu dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang bodoh, konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka, segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan.
Namun untuk memposisikan Islam dalam tantangan arus global tersebut sejatinya umat islam tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon. Sebagaimana tercermin dari dua kelompok umat islam di atas, yang kecendrungannya menerima dan menolak secara mutlak setiap pemikiran dan aliran yang timbul di Timur dan di Barat.
Memang umat islam dituntut untuk bersikap, tapi dengan kewaspadaan yang kuat, dalam artian tidak sertamerta menutup setiap yang dibawa oleh aliran-aliran yang datang dari Timur dan barat, serta tidak membuka pintu lebar-lebar terhadap kemajuan yang dibawa oleh arus globalisasi tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam memandang persoalan tersebut, umat islam harus lebih kritis dengan menelaah setiap persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disetai kesadaran yang utuh. Oleh karena itu Mahmud Hamdi Zaqzuq memberikan catatan penting yang harus digaris-bawahi dengan tegas. Pertama, bahwa islam sebagai agama – bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporal belaka – seharusnya tidakperlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari luar, kareana ia memiliki basis sejarah yang kokoh  dan landasan kuat, yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran baru yang bermunculan. Kedua, harus disadari bahwa globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak. pada mulanya, ia merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke jalur politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita. Ketiga, kita tak bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini kita telah berada di era revolusi komunikasi dan informasi, revolusi, tekhnologi serta era penuh keterbukaan yang tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita.
Globalisasi merupakan fenomena yang tak terbantahkan kedatangannya. Jika umat islam menutup diri dan acuh tak acuh sama halnya dengan mengggali kuburan untuk kematiannya sendiri, sedangkan membuka diri tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya sama halnya menjelma manusia robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi. Untuk tidak terjebak pada keduanya, umat islam harus bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak zaman dahulu, umat islam telah mengambil hikmah dari peradaban-peradaban lain, ketika mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks ini, seorang filosof muslim terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan kita agar mebaca literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran ini tentu mengandung anjurkan kita untuk membaca literatur baru di kemudian hari. Ibn Rusyd juga meneguhkan dengan untkapannya, “kita perlu menelaah apa yang diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literatur-literatur mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus berhati-hati dan menghindarinya.
Dengan begitu secara otomatis Ibn Rusyd mengiinkan umat islam untuk mengkritisi segala yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain. Tentu dengan memfungsikan akal dan fikiran, sehingga dengan masuknya kebudayaan modern kita tidak gagap, kita bisa mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin rasanya menolak secara membabi-buta suatu kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Dengan penyikapan yang kritis ini, kita dalam satu sisi kita tetap bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya.

b.    Menjaga eksistensi; posisi dan sikap Islam terhadap Globalisasi
Banyak kalangan bingung memahami Islam dan Muslim. Pemimpin kaum Muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan adil; namun Osama Bin Laden dan teroris Muslim lainnya secara global membantai non-Muslim maupun Muslim. Presiden Goerge W Bush menyebut Islam sebagai agama damai; penginjil Franklin Graham memandang Islam sebagai agama setan. Samuel Huntington, profesor ternama dari Harvad dan penulis The Clash of Civilizations menulis “Islam berlumur darah di luar dan dalam”. Tetapi sebagaimana dikemukakan presiden Barrack Obama “Islam telah menunjukkan lewat kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kemitraan ras”.
Satu paragrap diatas menunjukkan realitas multi wajah Islam dan Muslim dewasa ini. Di sisi lain, makna implisit yang terkandung dalam satu paragrap diatas diatas adalah bahwasanya kehidupan beragama kita (Islam) tengah berada di bawah bayang-bayang globalisasi. Ketergantungan hidup terhadap globalisasi, pada gilirannya akan berpengaruh terhadap “cara pandang” (paradigma) beragama kita. Lalu muncul pertanyaan, sejauh mana Islam dengan ajaran-ajaran agamanya mampu bertahan di tengah kehidupan global yang modern? Di tengah kuatnya arus skularisasi?
Bila merujuk pada anasir-anasir para sosiolog bahwasanya agama akan sulit untuk bertahan di abad dua puluh satu, cukup membuat risau masyarakat beragama. Lihat saja penggalan kalimat terkenal “agama adalah candu” yang dianggap menjadi saripati konsepsi Marxis tentang gejala keagamaan. Ungkapan yang sama dapat kita temukan dalam tulisan-tulisan Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, juga Hencrich Heine.      
Meski demikian, sampai hari ini; hari dimana kita hidup di abad dua puluh satu, menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama khususnya Islam masih menampakkan eksistensinya. Tidak berniat menisbikan ramalan sosiolog diatas, tapi fakta statistikal membeberkan bahwa Islam adalah agama dengan penganut terbesar di dunia hari ini. Dan porsi terbesar dari 1,5 miliyar warga muslim dunia bukanlah bangsa Arab, melainkan Asia atau Afrika. Fakta ini menunjukkan bahwa telah terjadi imgirasi besar-besaran umat Islam bahkan hingga Eropa dan Amerika.
Dalam kondisi yang demikian, untuk menjaga eksistensinya di era globalisasi Islam harus mampu menemukan posisi yang strategis dan memberikan sikap yang tegas terhadap banjir bandang globalisasi. Sikap yang bisa diambil oleh Islam dalam memandang globalisasi adalah mendukung, menolak, atau kompromi.
Sikap mendukung mesti diambil Islam bila Globalisasi yang dalam banyak tafsir lebih dilihat membawa dampak negativ, bila dalam perjalanannya juga mengusung semangat perdamaian, toleransi beragama, keadilan, dan sebagainya. Tidak ada alasan bagi Islam untuk menolak spirit-spirit kehidupan yang demikian karena secara postulat keagamaan, Islam juga mengajarkan hal demikian. Sikap menolak Islam akan terjadi bila globalisasi memberikan dampak “tidak sehat” atas kehidupan manusia; mengusung semanagat skularisasi misalnya, dimana hal ini jelas bertentangan dengan Islam. Yang terakhir adalah sikap kompromi, jalan alternatif ini bisa diambil Islam bila tidak mengambil dua pilihan diatas. Sikap kompromi muncul karena keagamaan dann peradaban manausia berinteraksi dengan begitu intens dan kontinou dalam dunia global, sehingga Islam tidak bisa menutup mata dari kehadiran-kehadiran pengaruh kekuatan luar. Sikap kompromi bukan berarti tunduk terhadap pengaruh globalisasi sehingga Islam sekiranya perlu untuk mengambil posisi sebagai Counter Hegemoni kekuatan globalisasi. Globalisasi mampu bermetamorfosis lebih cepat dan memiliki kekuatan yang lebih tinggi, sehingga melawan globalisasi (bila pun harus dilawan) tidak bisa dengan pola konfrontasi total, karena pada akhirnya Islam akan terbawa dalam permainan globalisasi. Islam harus memiliki opsi cerdas untuk menyelamatkan eksistensinya.     


1 komentar: