“Tidak ada manusia yang stagnan”
demikian isyarat yang ditampakkan oleh sosiolog Auguste Comte, Talcott Parsons,
juga Charles Darwin. Ketiganya mengisyaratkan terjadinya pergerakan yang
dialami manusia yang membawa pada sebuah perubahan sosial. Bagi Parsons
perubahan sosial tersebut merupakan “gerak dasar’ bagi setiap manusia
(masyarakat), dan merupakan seleksi alam bagi Darwin, dan arus perubahan ini
akan terus berjalan karena merupakan hukum evolusi sosial-yang tidak dapat
dihentikan-sebagaimana diteorikan oleh Comte.
Seturut perputaran waktu, spektrum
perubahan yang terdapat di masyarakat semakin dinamis. namun yang mesti
diwaspadai, laju perubahan tidak selalu mengarah pada perubahan yang positive,
namun cenderung negative. Hal ini dipengaruhi oleh banyak factor, seperti
factor geografis, politik, ekonomi, agama, dan perkembangan zaman yang
membayangi kehidupan sosial manusia.
Hari ini kehidupan manusia telah
sampai pada sebuah era yang menghendaki hilangnya batasan-batasan diantara
manusia. Sebuah zaman yang kita kenal sebagai era Globalisasi. Globalisasi
menjadi klimaks (bukan antiklimaks, karena mungkin akan ada fase selanjutnya) dari fase perkembangan peradaban manusia.
Sebuah era yang ditandai oleh banyak penemuan-penemuan baru diberbagai bidang,
dan telah dianggap membawa manusia ke perubahan peradaban yang begitu
fantastic.
Globalisasi membawa visi membangun
kehidupan yang modern, yang akan memberikan kemudahan dalam kelangsungan hidup
manusia. Secara praktis, manusia dibikin mudah oleh temuan modernitas;
menciptakan kemungkinan bagi perbaikan taraf hidup manusia, mengangkat
penderitaan fisik, dan meringankan beban berat manusia. Era ini (baca:
Globalisasi) telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia disegala penjuru
dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara mudah perkembagan dan
penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari hari ke hari.
Arus Globalisasi disertai juga oleh
perubahan sosial yang begitu compleks. Komplekstias perubahan tersebut meliputi
(hampir) seluruh dimensi kehidupan manusia. Tidak hanya pada dimensi
ekonomi-politik (yang merupakan pintu masuk Globalisasi) tapi juga menyerang
sisi kebudayaan suatu Negara tak terkecuali juga sisi keagamaan (religiousitas)
masyarakat kita. Perubahan social yang begitu “dramatis” telah melanda
kehidupan beragama kita dan merupakan persoalan baru dan tantangan tersendiri
bagi sebuah Agama yang masih eksis di tengah-tengah kehidupan yang modern nan
global.
Salah satu persoalan krusial sebagai
dampak proses gloobalisasi yang terkait dengan kehidupan keagamaan adalah
semakin menipisnya ruang “religousitas” dalam kehidupan manusia. Temuan-temuan
empiric dan perkembangan pengetahuan menghadapkan kepada manusia (beragama)
sebuah realitas akan kekuasaan manusia di muka semesta ini. Hal-hal yang
seblumnya dianggap sebagai “misteri Tuhan” satu persatu, telah jatuh ke tangan
manusia melalui eksperimentasi yang mereka lakukan. Maka tak ayal agama pun
semakin kehilangan daya signifikansi dan perannya di tengah kehidupan manusia. Dan masih
ada banyak permasalahan lagi yang timbul karena dampak proses Globalisasi.
Hanya sekedar menyebutkan; ada permasalahan “dehumanisasi’ dalam bidang social,
terbukanya pola “pasar bebas” dalam bidang ekonomi, tersebarnya praktik
“demokrasi liberal” dalam bidang politik, dan ancaman lunturnya “kearifan
local” dalam bidang kebudayaan. Tapi makalah ini tidak akan mengeksplor semua
permasalahan-permasalahan tersebut, tapi akan lebih terkonsentrasi pada
persoalan keagamaan.
Tantangan keagamaan dewasa ini,
terutama banyak mengarah kepada agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah
penganut terbanyak di dunia. Juga karena adanya persilangan Idology dan Paradigma
dalam mmelihat muatan-muatan globalisasi yang saat ini tengah didominasi oleh
peradaban Barat. Perselisihan antara Islam dengan Barat juga menjadi bagian
yang telah memberikan warna tersendiri dalam era globalisasi.
Substansi penulisan makalah ini akan
banyak berbicara seputar islam dan globalisasi. Dalam bab pembahasan, akan
dibahas seputar definisi globalisasi secara umum, dan secara khusus akan
dilihat dari perspektif Islam. Juga tentang benturan-benturan Islam dengan
Barat (sebagai peradaban yang lebih dominan), dan penulis mencoba melihat
posisi (reposisi) Islam, karena ini akan sangat berkaitan dengan eksistensi
Islam di era Globalisasi.
1. Eksistensi Agama di Era Globalisasi
Agama telah mampu
mempertahankan diri hingga hari ini, namun sebarapa jauh ia telah berubah dan
dapatkah ia menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman? Gerakan modernisasi dan
globalisasi menghadapkan agama kepada berbagai persoalan pelik, persoalan yang
sedang dan akan terjadi jika peranan agama tidak betul-betul diberdayakan dalam
kehidupan masyarakat-khususnya masyarakat muslim dan agamanya itu sendiri yaitu
Islam.
Pada tanggal 28 Agustus
samapai dengan 5 September 1993 di Chicago, Amerika Serikat, berlangsung sebuah
pertemuan penting tingkat dunia, yaitu konferensi Parlemen Agama-agama Sedunia
(World Parlement of Religions). Konferensi ini melahirkan sebuah keputusan yang
mempersatukan agama dalam melawan cara hidup yang tidak beragama, serta bersama
melakukan kebijakan bagi kepentingan perbaikan ummat manusia, dari berbagai
hal, baik pemahaman terhadap kitabnya masing-masing, dan lebih jauh membahas
tarap kehidupan sosial antara masyarakat pemeluk agama.
Kita melihat agama pada
abad sekarang memang betul-betul dihadapkan pada permasalahan yang amat pelik,
dikarenakan adanya era modernisasi dan globalisasi pembangungan. Fenomena ini tak dapat dielakkan
begitu saja, sebagai alasan karena ini merupakan sebuah kemajuan disatu sisi,
sebab manusia mempunyai naluri yang produktif dalam artian bahwa manusia dapat
mengembangkan potensi yang ada, yaitu kemajuan berpikir dan berkarya, salah
satunya adalah globalisasi. Dan selanjutnya kita mengkaitkan globalisasi
sebagai dasar kebudayaan manusia yang memang terus berkembang dengan pesat,
dari berbagai sektor baik sosial, ekonomi, politik dan bioteknologi.
Ide dasar dari
globalisasi adalah ditandainya dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme,
yakni kian terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi dan proses produksi
dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideologi
dan tata perdagangan dunia baru dibawah suatu aturan yang ditetapkan oleh
organisasi perdagangan bebas secara global, walaupun apa yang menjadi aturan
globalisasi itu pun belum jelas.
Sedangkan agama pun mempunyai
norma-norma yang dianggap abadi, dan harus ditegakkan dengan segala
konsekwensinya. Salah satu konsekwensi tersebut adalah penumbuhan aturan-aturan
agama kedalam aturan-aturan masyarakat (Abdurrahman Wahid, "Pergulatan
Negara, Agama dan Kebudayaan"). Dan agama merupakan faktor utama dalam
mewujudkan pola-pola persepsi dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu
mempengaruhi perkembangan dunia dan menentukan cara manusia menundukkan dirinya
didunia ini. Sebaliknya manusia mempunyai sejarah yang memaksakan perubahan dan
penyesuaian terus menerus kaitannya dengan kegiatan manusia yang mempunyai
dasar potensi pengembangan lebih-lebih dalam masyarakat yang sedang berubah
dengan pesat.
Dalam hal ini kita
tidak ingin adanya dikotomi, sebagai sample bahwa agama adalah sumber berbagai
hambatan sosial dan mental yang perlu diatasi untuk mensukseskan pembangunan
dan perubahan-perubahan yang signifikan bagi harapan dan kelayakan hidup yang
digambarkan oleh program globalisasi. Pun sebaliknya globalisasi juga melahirkan
kecemasan-kecemasan, bagaimana dengan permasalahan sekitar pemiskinan rakyat
dan marjinalisasi rakyat, serta persoalan keadilan sosial. Dan sekaligus timbul
pertanyaan bagi kedudukan globalisasi, apakah dalam hal pembangunan ini dapat
memastikan harapan-harapan yang dinginkan oleh masyarakat banyak? Terutama
masyarakat miskin, dan menumbuhkan keadilan sosial? Kembali
pada pengertian diantara keduanya yaitu Agama dan Globalisasi. Agama sebagai
pandangan dunia dapat di terangkan bahwa mengatur dengan petunjuk-petunjuknya,
pada seluruh bidang kehidupan manusia, dan agama pun mempunyai tujuan-tujuan
yang mulia yaitu dengan menjanjikan kebahagiaan, dengan ini hendak dikatakan
bahwa berbagai bentuk kepercayaan dan ideologi yang implementasinya diyakini
akan mendatangkan kebahagiaan, tak kalah dengan tujuan-tujuan yang dicanangkan
oleh program globalisasi, bahwa ini pun menjanjikan kebahagiaan, kelayakan
kehidupan ummat manusia.
Wilayah yang sama dan
tujuan yang sama adalah kepentingan manusia dalam ragka pemenuhan kebutuhan
hidup, sesuatu yag dpaat memberikan manusia kegairahan dan kebahagiaan, untuk
memperoleh yang terakhir (kebahagiaan) manusia mencangkuli wilayah tertentu
dari agama secara besar-besaran; sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu
ironi bahwa petunjuk-petunjuk agama yang semula berpretensi untuk menciptakan
suasana "kekudusan" dalam diri manusia yang sompong, kini justru
ditantang untuk menyesuaikan diri dengan suasana kepuasan manusia. Globalisasi yang mana di isukan
dibuat dan dicanangkan oleh kapitalisme menimbulkan peristiwa yaitu krisis
pembangunan, yang terjadi di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan
keberhasilan pembangunan dan keberhasilan kapitalisme Dunia ketiga tengah
mengalami kebangkrutan dan terjadinya ekploitasi manusia atas manusia yang
lain.
Jika kita lihat
kembali, bahwa pembangunan-sebagai implikasi dari program globalisasi tidak
patut dipersalahkan disatu pihak, dipihak lain agama yang mempunyai peran
sebagai media spritual tidak lantas dituduh dan dijadikan alasan penghambat
pembangunan, uraian diatas merupakan refleksi terhadap peranan dan perjalanan
agama-maupun perubahan yang diciptakan oleh insting manusia yang selalu
menuntut perubahan di satu pihak, dipihak lain agama mempunyai aturan yang
harus dijalankan.
Hubungan antara agama
dan kebudayaan ( yang direfleksikan dengan globalisasi) merupakan suatu yang
ambivalen, sama-sama kalau boleh berprasangka-membutuhkan, karena kalau kita
lihat agama banyak memanfaatkan kebudayaan manusia dan sebaliknya kebudayaan sendiri
mendatangkan istilah agama, yang melalui perenungan dan pemikiran manusia.
Sejak dikembangkannya
kesepakatan The Bretton Woods di Amerika Serikat yang sesungguhnya didorong
oleh kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional dan yang merupakan aktor terpenting
dari globalisasi, unsur-unsur yang menyebabkan kehancuran globalisasi disini
adalah adanya paksaan-paksaan, globalisasi yang tadinya untuk mensejahterakan
manusia ternyata melebihi batas, contoh yang telah dikemukakan diatas yaitu
dengan mengeksploitasi manusia dengan tanpa kejelasan dan sebab yang menjadi
dasar eksploitasi.
Akibatnya, pada saat
ini telah mulai tumbuh gerakan-gerakan tantangan maupun resistensi terhadap
globalisasi baik di tingkat internasional maupun tingkat lokal. Area-area resistensi
dan tantangan terhadap globalisasi tersebut dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
Pertama, tantangan gerakan kultural dan agama terhadpa globalisasi, sudah lama terdapat fenomena lahirnya gerakan yang berbasis agama maupun gerkakan rtesistensi budaya melalui pembangunan dan globalisasi. Gerkaan berbasis agama ini timbul dimana-mana dan dengan label bermacam-macam pula.
Pertama, tantangan gerakan kultural dan agama terhadpa globalisasi, sudah lama terdapat fenomena lahirnya gerakan yang berbasis agama maupun gerkakan rtesistensi budaya melalui pembangunan dan globalisasi. Gerkaan berbasis agama ini timbul dimana-mana dan dengan label bermacam-macam pula.
Kedua, tantangan dari
new social movement dfan Global civil society terhadap globalisasi new social
movement adalah geraka sosial untuk menentang pembangunan dan globalisasi,
seperti gerkan hijau, feminisme, gerakan masyarakat akar rumput. Misalnya saja
gerakan resistensi terhadap pembangunan dam dibeberapa tempat diasia.
Ketiga, tantangan gerkan likungan terhadap globalisasi. Meskipun tidak semua gerakan lingkungan secara langsung menentang globalisasi, berkembangnya gerakan lingkungan untuk pemberdayaan rakyat (eko-populisme) dan gerakan lingkungan yang dipengaruhi kesadaran lingkungan bersumber dari barat. Gerakan ini banyak di pengaruhi oleh pikiran Rachel Catson dalam "Silent Spring" yang membongkar tentang kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan praktyek ekonomi modern seperti penggunaan kimia dalam pertanian.
Sementara itu, eko-populisme, lahir sebagai keprihatinan terhadap rusaknya lingkungan karena juga menghancurkan kehidupan rakyat sekitarnya oleh sebab itulah gerakan lingkungan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan hak-hak perlindungan adat, dalam pada itu muncullah gerakan resistensi lingkungan didunia ke-tiga seperti grakan masyarakat Chipko (Hipko Movement) di india, yakni suatu gerakan , terutama kaum perempuan menentang perusahaan penebangan hutan. Walhi , suatu organisasi jaringan gerakan lingkungan di Indonesia dalam perjalanan organisasinya juga menjadi gerakan resistensi terhadap globalisasi. (yang ditulis oleh Dr. Mansour Fakih dalam Bukunya yang berjudul "Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi").
Ketiga, tantangan gerkan likungan terhadap globalisasi. Meskipun tidak semua gerakan lingkungan secara langsung menentang globalisasi, berkembangnya gerakan lingkungan untuk pemberdayaan rakyat (eko-populisme) dan gerakan lingkungan yang dipengaruhi kesadaran lingkungan bersumber dari barat. Gerakan ini banyak di pengaruhi oleh pikiran Rachel Catson dalam "Silent Spring" yang membongkar tentang kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan praktyek ekonomi modern seperti penggunaan kimia dalam pertanian.
Sementara itu, eko-populisme, lahir sebagai keprihatinan terhadap rusaknya lingkungan karena juga menghancurkan kehidupan rakyat sekitarnya oleh sebab itulah gerakan lingkungan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan hak-hak perlindungan adat, dalam pada itu muncullah gerakan resistensi lingkungan didunia ke-tiga seperti grakan masyarakat Chipko (Hipko Movement) di india, yakni suatu gerakan , terutama kaum perempuan menentang perusahaan penebangan hutan. Walhi , suatu organisasi jaringan gerakan lingkungan di Indonesia dalam perjalanan organisasinya juga menjadi gerakan resistensi terhadap globalisasi. (yang ditulis oleh Dr. Mansour Fakih dalam Bukunya yang berjudul "Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi").
Bicara tentang
modernitas dengan segala manfaat dan mudaratnya sudah menjadi fakta keras dalam
kehidupan manusia modern. Tak seorangpun dapat lari dari padanya. Ia sepenuhnya
sudah memembuana. Islam sebagai agama yang monoistik terakhir sesudah Yudaisme
dan agama Kristen harus membuka matanya lebar-lebar untuk belajar secara
kritikal dari pengalaman sejarah para pendahulunya. Pelajaran tentang
keberhasilan atau kegagalan mereka dalam menghadapi tantangan zaman menjadi
sangat krusial bagi islam yang sekarang, demi menentukan posisi globalnya
sendiri untuk turut menyelamatkan masa depan manusia dari serbuan nihilisme dan
berpartisipasi dalam membangun sebuah duniayang adil dan damai. Bersama dengan
agama-agama yang lain, islam harus tanpa henti mempelopori lahirnya paradigma
baru bagi sebuah tatanan dunia berdasarkan nilai-nilai spiritual yang
ditawarkan oleh semua. Paradigma lama berupa " kita versus mereka"
sekalipun masih dipegang oleh segelintir orang, sudah tidak sejalan lagi dengan
perasaan yang kuat tentang tunggalnya kemanusiaan. Doktrin ini secara berangsur
tetapi pasti telah dimiliki semua agama dan kebudayaan. Dengan modal ini, maka
ada harapan bagi sebuah hari depan yang baik dan damai bagi jenis kita sebagai
homo sapiens, manusia bijak.
2. Eksistensi
Agama Islam di
Era Globalisasi
Globalisasi yang melanda dunia tidak hanya pada satu
bidang saja, tetapi terdapat pada berbagai bidang. Seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama. Globalisasi yang terjadi di berbagai bidang
tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi dunia di masa yang
akan datang.
Dalam era globalisasi saat ini, tentu akan terdapat perbedaan-perbedaan
dalam peradaban. Perbedaan tersebut kadangkala dapat memicu terjadinya
pertarungan. Namun, ada kalanya pertarungan peradaban tidak perlu dilakukan.
Terlebih jika peradaban yang ada dapat hidup berdampingan, terjadinya dialog,
dan saling memberi. Tetapi, tetap saja, kita sebagai umat muslim tidak boleh
melupakan agenda besar dibalik globalisasi.
Pertarungan yang terjadi dapat berupa pertarunga ideology, dan perebutan
pengaruh antara antara Islam dan Globalisasi. Globalisasi direpresentasikan
melalui perdaban Barat dengan spirit modernitasnya, yang dalam banyak wilayah
tidak sejalan dengan prinsip Islam. Sehingga dalam banyak perjalanan
globalisasi, Islam kerap berbenturan dan atau bersilang pendapat dengan Barat.
Dalam keadaan seperti ini Islam harus mampu menemukan jati dirinya ditengah
menguatnya arus globalisasi yang mengancam kepunahan agama, tentunya agar Islam
mampu bertahan hingga akhir zaman.
a.
Benturan Islam dengan Barat
Benturan
Islam dan Barat (globalisasi) merupakan isu yang selalu hangat
diperbincangkan. Dengan latar belakang
budaya dan ideologi yang khas di antara keduanya. Dan disinalah akan dikupas
secara mendalam apakah keduanya bisa berjalan secara harmonis, bagaimana
globalisasi dengan segala kekuatannya dan Islam yang memiliki setting dan
alasan tersendiri yang berbeda keberadaannya. Hal ini disebabkan karena
sementara agama bertumpu pada apa yang disebut Rodulf Otto the Holy atau the sacred
dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi dengan segala prangkatnya yang
bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang justru menyisihkan segala bentuk
sakralitas.
Islam adalah
kekuatan dinamis masyarakat muslim yang mengendalikan segala aspek kehidupan,
mulai dari cara berpakaian, pergaulan, budaya, politik, keilmuan dan
seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi ciri khas
bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan dengan
perkembangan situasii dan zaman.
Sebagaimana pada era globalisasi ini, dimana muncul ketegangan baru antara
Islam dengan Barat. Keduanya seolah berhadapan sebagai lawan yang saling
menghancurkan. Apakah demikian? Nah, disinilah kita dituntut untuk mengetahui
apakah diantara keduanya bisa berjalan sejajar atau setidaknya Islam dapat
mengimbangi posisinya dalam arus keganasan globalisasi yang terjadi saat ini.
Sebagai umat
islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam
merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia islam, baik di
bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun Barat.
Dari kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cendrung bersifat resisten demi
melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat islam dari pengaruh
politik negatif berbagai pemikiran dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat
tertentu, mereka berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau
konspirasi terencana untuk menghancurkan islam dan identitas kaum muslimin.
Sementara
pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat islam yang lain cendrung menerima apa yang datang dari Timur maupun dari Barat tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal itu
dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang bodoh,
konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka, segala sesuatu yang
datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya
kemajuan dan perkembangan.
Namun untuk
memposisikan Islam dalam tantangan arus global tersebut sejatinya umat islam
tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon. Sebagaimana tercermin dari dua
kelompok umat islam di atas, yang kecendrungannya menerima dan menolak secara
mutlak setiap pemikiran dan aliran yang timbul di Timur dan di Barat.
Memang umat
islam dituntut untuk bersikap, tapi dengan kewaspadaan yang kuat, dalam artian
tidak sertamerta menutup setiap yang dibawa oleh aliran-aliran yang datang dari
Timur dan barat, serta tidak membuka pintu lebar-lebar terhadap kemajuan yang
dibawa oleh arus globalisasi tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam
memandang persoalan tersebut, umat islam harus lebih kritis dengan menelaah
setiap persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa
mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disetai kesadaran yang utuh.
Oleh karena itu Mahmud Hamdi Zaqzuq memberikan catatan penting yang harus
digaris-bawahi dengan tegas. Pertama, bahwa
islam sebagai agama – bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporal
belaka – seharusnya tidakperlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari
luar, kareana ia memiliki basis sejarah yang kokoh dan landasan kuat, yang tidak dimiliki oleh
aliran-aliran baru yang bermunculan. Kedua, harus disadari bahwa globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin
ditolak. pada mulanya, ia merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke
jalur politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah
fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita. Ketiga, kita tak bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama
komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini kita telah berada di era revolusi
komunikasi dan informasi, revolusi, tekhnologi serta era penuh keterbukaan yang
tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita.
Globalisasi
merupakan fenomena yang tak terbantahkan kedatangannya. Jika umat islam menutup
diri dan acuh tak acuh sama halnya dengan mengggali kuburan untuk kematiannya
sendiri, sedangkan membuka diri tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya
sama halnya menjelma manusia robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh
kekuatan tekhnologi. Untuk tidak terjebak pada keduanya, umat islam harus
bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak zaman
dahulu, umat islam telah mengambil hikmah dari peradaban-peradaban lain, ketika
mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks ini, seorang filosof
muslim terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan kita
agar mebaca literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran ini tentu
mengandung anjurkan kita untuk membaca literatur baru di kemudian hari. Ibn
Rusyd juga meneguhkan dengan untkapannya, “kita perlu menelaah apa yang
diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literatur-literatur
mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan
senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita
harus berhati-hati dan menghindarinya.
Dengan
begitu secara otomatis Ibn Rusyd mengiinkan umat islam untuk mengkritisi segala
yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain. Tentu
dengan memfungsikan akal dan fikiran, sehingga dengan masuknya kebudayaan
modern kita tidak gagap, kita bisa mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam
sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin
rasanya menolak secara membabi-buta suatu kebudayaan yang mengandung manfaat
bagi umat manusia. Dengan penyikapan yang kritis ini, kita dalam satu sisi kita
tetap bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tidak
terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya.
b.
Menjaga eksistensi; posisi dan sikap
Islam terhadap Globalisasi
Banyak kalangan bingung memahami
Islam dan Muslim. Pemimpin kaum Muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama
damai dan adil; namun Osama Bin Laden dan teroris Muslim lainnya secara global
membantai non-Muslim maupun Muslim. Presiden Goerge W Bush menyebut Islam
sebagai agama damai; penginjil Franklin Graham memandang Islam sebagai agama
setan. Samuel Huntington, profesor ternama dari Harvad dan penulis The Clash of
Civilizations menulis “Islam berlumur darah di luar dan dalam”. Tetapi
sebagaimana dikemukakan presiden Barrack Obama “Islam telah menunjukkan lewat
kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kemitraan ras”.
Satu paragrap diatas menunjukkan
realitas multi wajah Islam dan Muslim dewasa ini. Di sisi lain, makna implisit
yang terkandung dalam satu paragrap diatas diatas adalah bahwasanya kehidupan
beragama kita (Islam) tengah berada di bawah bayang-bayang globalisasi.
Ketergantungan hidup terhadap globalisasi, pada gilirannya akan berpengaruh
terhadap “cara pandang” (paradigma) beragama kita. Lalu muncul pertanyaan,
sejauh mana Islam dengan ajaran-ajaran agamanya mampu bertahan di tengah
kehidupan global yang modern? Di tengah kuatnya arus skularisasi?
Bila merujuk pada anasir-anasir para
sosiolog bahwasanya agama akan sulit untuk bertahan di abad dua puluh satu,
cukup membuat risau masyarakat beragama. Lihat saja penggalan kalimat terkenal
“agama adalah candu” yang dianggap menjadi saripati konsepsi Marxis tentang
gejala keagamaan. Ungkapan yang sama dapat kita temukan dalam tulisan-tulisan
Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, juga Hencrich Heine.
Meski demikian, sampai hari ini;
hari dimana kita hidup di abad dua puluh satu, menunjukkan bahwa keberadaan
agama-agama khususnya Islam masih menampakkan eksistensinya. Tidak berniat
menisbikan ramalan sosiolog diatas, tapi fakta statistikal membeberkan bahwa
Islam adalah agama dengan penganut terbesar di dunia hari ini. Dan porsi
terbesar dari 1,5 miliyar warga muslim dunia bukanlah bangsa Arab, melainkan
Asia atau Afrika. Fakta ini
menunjukkan bahwa telah terjadi imgirasi besar-besaran umat Islam bahkan hingga
Eropa dan Amerika.
Dalam kondisi yang demikian, untuk
menjaga eksistensinya di era globalisasi Islam harus mampu menemukan posisi
yang strategis dan memberikan sikap yang tegas terhadap banjir bandang
globalisasi. Sikap yang bisa diambil oleh Islam dalam memandang globalisasi
adalah mendukung, menolak, atau kompromi.
Sikap mendukung mesti diambil Islam
bila Globalisasi yang dalam banyak tafsir lebih dilihat membawa dampak negativ,
bila dalam perjalanannya juga mengusung semangat perdamaian, toleransi
beragama, keadilan, dan sebagainya. Tidak ada alasan bagi Islam untuk menolak
spirit-spirit kehidupan yang demikian karena secara postulat keagamaan, Islam
juga mengajarkan hal demikian. Sikap menolak Islam akan terjadi bila
globalisasi memberikan dampak “tidak sehat” atas kehidupan manusia; mengusung
semanagat skularisasi misalnya, dimana hal ini jelas bertentangan dengan Islam.
Yang terakhir adalah sikap kompromi, jalan alternatif ini bisa diambil Islam
bila tidak mengambil dua pilihan diatas. Sikap kompromi muncul karena keagamaan
dann peradaban manausia berinteraksi dengan begitu intens dan kontinou dalam
dunia global, sehingga Islam tidak bisa menutup mata dari kehadiran-kehadiran
pengaruh kekuatan luar. Sikap kompromi bukan berarti tunduk terhadap pengaruh
globalisasi sehingga Islam sekiranya perlu untuk mengambil posisi sebagai Counter Hegemoni kekuatan globalisasi.
Globalisasi mampu bermetamorfosis lebih cepat dan memiliki kekuatan yang lebih
tinggi, sehingga melawan globalisasi (bila pun harus dilawan) tidak bisa dengan
pola konfrontasi total, karena pada akhirnya Islam akan terbawa dalam permainan
globalisasi. Islam harus memiliki opsi cerdas untuk menyelamatkan
eksistensinya.
NICE , GOOD, I LIKE IT
ReplyDelete