Monday 5 May 2014

KATA PENGANTAR

 

Puji Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkah limpahan nikmat dan karunia-Nya makalah “Kaltur Jaringan dan Tanaman Pinang Siri” bisa terselesaikan tepat pada waktunya untuk memenuhi tugas mata kuliah “Genetika”.

Dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk rekan-rekan penulis sekalian untuk mendiskusikan isi dari makalah dan atas kerja kerasnya dalam penyelesaian makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca dan khususnya rekan-rekan mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan.

 

 

Kisaran,   April  2014

          Penulis

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1       Pendahuluan

Pinang (Areca catechu L.) termasuk salah satu komoditi ekspor yang diandalkan untuk menam­bah devisa negara. Bagian yang digunakan untuk ekspor adalah biji. Perkembangan ekspor biji pinang Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan negara tujuan utama adalah India dan Pakistan, diikuti Singapura, Nepal, Bangla-desh, Malaysia (Biro Pusat Statistik, 2000).

Pinang mempunyai nilai ekonomis yang cu-kup baik dengan manfaat yang beragam dan dae-rah penyebarannya cukup luas. Manfaat biji pi-nang antara lain untuk bahan industri seperti da-lam penyamakan kulit, industri tekstil, industri zat pewarna, kosmetik, minuman dan farmasi, disam-ping itu sebagai bahan makanan stimulansia dan bumbu masak. Daun dari tanaman pinang juga dapat digunakan sebagai obat gangguan saluran pernafasan. Batang digunakan untuk bahan bangunan, saluran air, dan sering dipakai sebagai perlombaan panjat pinang dalam rangka mempe-ringati hari-hari besar. Akar dimanfaatkan untuk obat cacing dan gangguan pencernaan.

Budidaya tanaman pinang secara intensif telah dilakukan di India, Bangladesh dan Srilangka, sedangkan di Indonesia belum dilakukan secara intensif. Pemeliharaan pinang selama ini hanya seadanya tanpa dipelihara dengan baik. Tanaman pinang yang tumbuh dengan baik diambil hasilnya tanpa adanya langkah-langkah pembudidayaan. Apabila keadaan ini berlanjut terus-menerus, dikhawatirkan akan terjadi pengurangan secara signifikan karena sampai sekarang belum ada peremajaan pinang apalagi budidaya secara intensif seperti tanaman perkebunan lainnya. Dalam rangka mengupayakan pengembangan tanaman pinang, penyediaan bibit merupakan sa-lah satu faktor yang menentukan dalam peremaja-an dan perluasan areal penanaman pinang. Selama ini perbanyakan pinang dilakukan secara konven-sional yang sampai sekarang masih menghadapai banyak kendala. Kendala tersebut antara lain lamanya waktu yang diperlukan untuk perke-cambahan dari benih dan rentannya bibit terhadap kondisi lingkungan, serta serangan dari hama dan penyakit.

Menurut Untu (1995) benih pinang akan ber-kecambah setelah 2 - 3 bulan, dalam persemaian dan selama persemaian terjadi kerusakan benih akibat hama dan penyakit. Perbanyakan tanaman pinang secara konvensional mempunyai beberapa kendala, antara lain biji memiliki masa dormansi, untuk berkecambah memerlukan waktu 54 hari bahkan lebih. Untuk mendapatkan bibit pinang yang siap ditanam di lapangan membutuhkan waktu 18 - 30 bulan, bibit pada umur ini memiliki 5-7 helai daun (Bhat, 1978).

 



Pada berbagai jenis tanaman palem (Arecaceae), diketahui teknik kultur in vitro merupakan salah satu solusi yang cukup efektif untuk mengatasi masalah dalam penyediaan bibit. Pinang termasuk salah satu tanaman yang sulit berkecambah maka dengan teknik kultur in vitro akan dapat mengatasi masalah tersebut, karena kultur in vitro termasuk salah satu cara budidaya untuk tanaman yang sulit berkecambah (Wattimena, 1996).

            Salah satu teknik kultur in vitro yang cukup luas penggunaannya adalah kultur embrio, karena kultur embrio merupakan studi awal untuk mendapatkan atau menentukan media yang paling cocok bagi suatu jenis tanaman, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dan dapat tumbuh lang-sung membentuk tunas. Selanjutnya tunas terse-but dapat dijadikan eksplan yng bebas dari micro-organisme sehingga tidak perlu disterilisasi lagi. Menurut Monnier (1990) melalui kultur embrio dapat dipelajari perkembangan embrio lebih dini. Di bidang pemuliaan tanaman, kultur embrio da-pat mempercepat siklus hibridisasi. Teixeira, Sondahl, dan Kirby (1993) menyatakan bahwa dipilihnya embrio sebagai eksplan karena terse-dianya buah, memiliki keseragaman fisiologis yang tinggi dan dapat dibawa dalam waktu dan jarak yang cukup panjang.

Lestari (1999) menyatakan embrio enau (Arenga pinnata Wurmb. Merr.) yang berasal dari buah muda mempunyai kemampuan menghasilkan kalus yang lebih tinggi dibanding embrio yang berasal dari buah yang lebih tua. Hal ini disebab­kan karena proses pematangan benih. Menurut Heddy tahun 1996 cit Lestari (1999) pada saat benih memasuki tahap matang fisiologis maka jaringan-jaringan embrio mengering dan organela-organela seluler menjadi tidak berfungsi.

Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman se­cara in vitro, dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh (ZPT) yang berada dalam eksplan, baik ZPT endogen maupun eksogen yang diserap dari media tumbuh. Hasil penelitian Hendaryono dan Wijayani (1994) me­nyatakan bahwa pembentukan kalus terbaik dari embrio melinjo adalah dengan pemberian 4 ppm NAA tanpa penambahan ZPT lain. Yuriko (2001) menyatakan kultur embrio pinang dengan penam-bahan 6 ppm NAA pada media MS dapat membe-rikan pertumbuhan yang optimum.

Pengkajian mengenai kultur embrio pada pinang belum banyak dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dalam rangka memperoleh bibit yang baik dan bermutu serta bebas hama dan penyakit dalam jumlah yang relatif banyak dan seragam.

1.2       Perumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini adalah mengenai pengertian kultur jaringan,  perbanyakan tanaman Pinang Siri secara kultur jaringan. Telah kita ketahui bahwa kultur jaringan akan membawa pengaruh yang sangat besar sekali bagi pambudidayaan tanaman di masa sekarang ini.

 

1.3       Manfaat Penulisan

Tentunya karya tulis ini memiliki manfaat baik bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut : Penulis bisa lebih memahami apa yang dimaksud dengan kultur jaringan beserta hal lainnya mengenai kultur jaringan Pembaca bisa mengetahui lebih dekat mengenai kultur jaringan.

 

 

 

BAB II

BAHAN DAN METODE

2.1       Kultur Jaringan

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kul-tur Jaringan Tumbuhan Jurusan Budidaya Pertani-an Fakultas Pertanian Universitas Andalas Pa-dang, dengan waktu dari bulan Juni sampai Oktober 2002.

Bahan penelitian: embrio buah pinang yang masih muda, zat kimia penyusun media MS, Naphthalene Acetic Acid (NAA), Benzyl Amino Purine (BAP), NaOH 1N, HCl 1N, alkohol 70%, Bayclin, sukrosa, akuades, agar konsumsi, air kelapa muda, deterjen, aluminum foil, dan plastic wrap.

Alat yang digunakan : timbangan analitik, autoclave, kompor listrik, pH meter, laminar air flow cabinet (LAFC), lemari es, oven, hotplate dengan magnetic stirer, gelas piala, labu ukur, ca-wan petri, erlenmeyer, pisau scalpel, pinset, karet hisap, hand sprayer, botol kultur, lampu neon, lampu spiritus, gunting buah, cutter, dan ruang pemeliharaan yang dilengkapi dengan pengatur suhu.

Percobaan disusun dalam bentuk faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor dan masing-masing faktor terdiri dari 3 taraf. Faktor pertama adalah tingkat konsentrasi NAA yang terdiri dari : 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan faktor kedua adalah tingkat konsentrasi BAP yang terdiri dari : 0 ppm, 0,5 ppm, dan 1 ppm, sehingga didapatkan 9 kombinasi perlakuan.

Masing-masing perlakuan terdiri dari 5 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 5 botol kultur, sehingga diperoleh 225 botol kultur yang digunakan. Data yang diperoleh diuji secara sta-tistika dengan uji F pada taraf nyata 5% dan disa-jikan dalam bentuk tabel. Apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata 5 %.

2.2 Pelaksanaan percobaan

2.1.1 Sterilisasi alat

Alat-alat yang dipakai terlebih dulu disterilkan dengan cara mencuci alat-alat tersebut dengan deterjen dan dibilas hingga bersih, setelah itu di-rendam dengan bayclin 5 ml/ l air selama satu malam. Kemudian disterilisasi dengan mengguna-kan autoclave pada tekanan 15 psi, suhu 121oC selama 30 menit. Setelah itu diovenkan pada suhu 75oC sampai saat dipergunakan.

2.1.2 Persiapan media

Dalam pembuatan media pertama sekali dibu-at larutan stok dan diberi kode A, B, C, D, E, dan F berdasarkan jenis garamnya. Larutan vitamin ditempatkan dalam botol yang terpisah. Pada larutan stok ini, media dipekatkan sehingga pada saat pembuatan media hanya dengan memipet sejumlah volume tertentu sesuai dengan takaran yang diperlukan. Kedalam larutan ditambahkan BAP dan NAA sesuai dengan perlakuan dengan cara memipet larutan stok yang sudah ada. Kemudian ditambah arang aktif dan ditambah sukrosa 3%. Kemudian diatur pH agar mencapai 5,8. Media selanjutnya ditambah agar sebanyak 8g/l dan dimasak sampai mendidih. Selanjutnya media dimasukkan kedalam botol kultur sebanyak 10 ml tiap botol dan ditutup rapat dengan alumi-nium foil, kemudian disterilkan dalam autoclave pada tekanan 15 psi pada suhu 121oC selama 20 menit setelah itu dipindahkan dan di­simpan di ruang inkubasi selama 1 minggu.

2.1.3 Persiapan eksplan

Buah pinang dicuci dengan deterjen sambil di-sikat dengan sikat gigi untuk mengangkat kotoran yang melekat. Kemudian dibilas bersih, setelah bersih buah dipotong pada ujung dan pangkalnya masing-masing 0,5 cm, kemudian langsung diren-dam dalam alkohol 70%. Buah dibawa ke dalam LAFC dan dibiarkan selama 30 menit.

Embrio merupakan bagian tanaman yang ter-tutup dan bebas mikroorganisme, karenanya tidak dilakukan sterilisasi terhadap embrio itu sendiri. Embrio dipisahkan dari buah dengan menggu-nakan pisau scalpel dan diambil dengan pinset. Embrio yang telah dipisahkan tersebut langsung ditanam di dalam botol kultur, tanpa melalui proses sterilisasi.

2.1.4 Penanaman eksplan

Penanaman eksplan dilakukan di dalam LAFC. Embrio yang sudah dipisahkan dari buah-nya tadi ditanam dalam botol kultur yang telah berisi media, masing-masing satu embrio untuk setiap botol kultur, kemudian ditutup dengan aluminimum foil dan dibalut dengan plastik wrap.

2.1.5 Penggelapan

Untuk menghindari terjadinya browning, ma-ka dilakukan penggelapan. Botol kultur ditempat-kan di ruangan gelap pada suhu 25 - 27 oC selama 14 hari.

2.1.6 Pemeliharaan kultur eksplan

Botol-botol kultur dipindahlan ke ruangan te-rang setelah 14 hari dalam ruangan gelap. dan di-susun pada rak-rak kultur dalam ruangan pe-meliharaan dengan suhu ruangan tetap 25 - 27 oC, cahaya lampu rata-rata 2000 luks dan setiap hari disemprot dengan alkohol 70%.

2.1.7 Pengamatan

Variabel yang diamati pada penelitian ini me-liputi : persentase eksplan yang hidup (%), per-sentase eksplan yang mengalami pencoklatan (%), persentase eksplan membentuk kalus (%), per-sentase eksplan yang membentuk shootlet,, per-sentase eksplan yang membentuk rootlet, dan perubahan warna eksplan.

 

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1       Persentase eksplan yang hidup

Pemberian NAA dan BAPmemberikan penga-ruh yang tidak nyata terhadap persentase eksplan yang hidup, tetapi persentasenya cukup tinggi bervariasi antara 71,0 – 88,7 % seperti tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 1.          Persentase eksplan embrio muda pinang sirih yang hidup dengan pemberian berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam

Konsentrasi NAA (ppm)

Konsentrasi BAP (ppm)

0,0

0,5

1,0

4

83,7

76,0

81,1

6

88,7

88,7

78,6

8

88,7

71,0

73,5

KK = 16,7%

 

 

 

Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut uji F pada

taraf nyata 5 %.

Data di atas menunjukkan bahwa kemampuan hidup eksplan cukup tinggi, hal ini disebabkan karena NAA dan BAP yang diberikan sudah mampu mendorong eksplan untuk hidup, disam-ping itu jenis media yang digunakan juga telah sesuai bagi pertumbuhan eksplan. Sesuai dengan pendapat Hendaryono dan Wijayani (1994) bahwa media tumbuh kultur in vitro sangat besar penga-ruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya.

3.2       Persentase eksplan yang mengalami pencoklatan

Persentase eksplan yang mengalami penco-klatan cukup rendah pada setiap kombinasi perla-kuan, bervariasi antara  0,71 – 1,47% dan berbeda tidak nyata sesamanya (Tabel 2 ).

Tabel 2.          Persentase eksplan embrio muda pinang sirih yang mengalami pencoklatan dengan pemberian berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam

Konsentrasi NAA (ppm)

Konsentrasi BAP (ppm)

0,0

0,5

1,0

4

1,47

1,47

0,71

6

0,71

0,71

1,47

8

0,71

1,47

0,71

Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut uji F pada taraf nyata 5 %.

 

Pemberian auksin dan sitokinin menyebabkan pencoklatan yang rendah terhadap eksplan. Menurut Zaid cit. Subardianto (2001) diduga NAA sebagai auksin memperkecil pengaruh sito-kinin yang bersifat merangsang sintesis senyawa fenol yang menyebabkan pencoklatan.

3.3       Persentase eksplan yang membentuk kalus

Pembentukan kalus tertinggi yaitu 19,0% diberikan oleh kombinasi 8 ppm NAA dengan 0 ppm BAP, tetapi pemberian NAA dan BAP seca-ra umum belum memperlihatkan pengaruh yang  nyata terhadap persentase eksplan yang memben-tuk kalus. Hal ini diduga bahwa zat pengatur tumbuh endogen telah mampu menunjang pertum-buhan eksplan ke arah pembentukan kalus. Menurut Wiendi et al (1991) di dalam kultur in vitro pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan. Pada tanaman monokotil pembentukan kalus hanya membutuhkan auksin yang tinggi tanpa sitokinin. Ternyata dari hasil memang terlihat bahwa dengan pemberian auksin  memperlihatkan kalus yang terbentuk semakin banyak tanpa pemberian sitokinin.

Tabel 3.          Persentase eksplan embrio muda pinang sirih yang membentuk kalus dengan pemberian berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam

Konsentrasi NAA (ppm)

Konsentrasi BAP (ppm)

0,0

0,5

1,0

4

6,3

6,3

1,3

6

6,3

1,3

6,3

8

19,0

1,3

1,3

Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut uji F pada taraf nyata 5 %.

3.4                   Persentase eksplan yang membentuk hootlet.

Pemberian NAA dan BAP secara bersamaan dengan berbagai konsentrasi ternyata tidak memberikan interaksi yang nyata, tetapiNAA dan BAP secara tunggal masing-masing menunjukan pengaruh yang nyata seperti terlihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4.          Persentase eksplan embrio muda pinang sirih yang membentuk shootlet dengan pemberian berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam

Konsentrasi NAA (ppm)

Konsentrasi BAP (ppm)

Rata-rata

0,0

0,5

1,0

 

 

4

63,7

34,0

43,8

47,1 A

6

41,5

21,3

31,6

31,5 B

8

38,8

13,9

11,4

21,4 B

Rata-rata

48,0 a

23,1 b

29,0 b

 

KK = 51,2%

 

 

 

 

Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil yang sama dan angka-angka pada kolom yang sama dii­kuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada  taraf nyata 5 %.

            Pada Tabel 4 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi NAA ataupun BAP menurunkan per­sentase eksplan yang membentuk shootlet sehing­ga persentase tertinggi didapatkan pada kombinasi 4 ppm NAA dengan 0 ppm BAP yaitu 63,7 %. Menurut Wiendi et al (1991) dan Nasir (2002) bahwa keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan akan memepengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dalam kultur in vitro.

3.5       Persentase eksplan yang membentuk rootlet

Tabel 5.          Persentase eksplan embrio muda pinang sirih yang membentuk rootlet dengan pemberian berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam

Konsentrasi NAA (ppm)

Konsentrasi BAP (ppm)

Rata-rata

0,0

0,5

1,0

4

44,4

31,7

82,3

52,8

6

94,9

31,7

44,4

57,0

8

94,4

6,4

6,4

52,4

Rata-rata

94,6 a

23,3 b

44,3 b

 

KK =

 

 

 

 

Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT  pada taraf nyata 5 %.

Dari hasil analisis (Tabel 5) ternyata pembe-rian NAA berpengaruh tidak nyata sedangkan pemberian BAP memperlihatkan pengaruh yang nyata. terhadap eksplan yang membetnuk rootlet. Pemberian 0 ppm BAP memperlihatkan hasil yang tinggi dibanding perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena BAP dalam pembentukan root-let kurang dibutuhkan. Sesuai dengan pendapat Wiendi et al (1991) bahwa pembentukan akar pada kultur in vitro membutuhkan sitokinin dalam konsentrasi yang rendah sekali. Hal ini berarti bahwa pada konsentrasi 4 ppm NAA dan 0 ppm BAP keseimbangan zat pengatur tumbuh eksogen dengan endogen sudah tercapai dalam pemben-tukan rootlet.

3.6  Perubahan warna eksplan

Perubahan warna eksplan tidak dianalisis se­cara statistika, hanya diamati secara visual saja. Eksplan yang membetuk kalus dan rootlet bewar­na kuning muda, sedangkan yang membentuk shootlet bewarna hijau. Menurut Wiendi et al (1991) bahwa dengan terbentuknya warna hijau pada eksplan merupakan awal terjadinya morfo­genesis.

 

BAB IV

KESIMPULAN

4.1       Kesimpulan

Berdasarkan hasil percobaanan ini dapat di­simpulkan bahwa pemberian 4 ppm NAA dapat mendorong pertumbuhan shootlet dan pemberian 0 ppm BAP mendorong pertumbuhan shootlet dan rootlet.

DAFTAR PUSTAKA

Bhat, K.S. 1978. Agronomic research in arecanut a review. Journal of  planttation Crops volome 6 no. 2 Institut Regional Station. India. Pp 67-80.

Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : ekspor 1999 jilid 1. Biro Pusat Statistik. Ja­karta. Hal. 32.

Hendaryono, D.P.S. dan A.Wijayani. 1994. Teknik kultur jaringan. Peberbit Kanisius. Yokjakarta. 139 hal.

Lestari, M. 1999. Kultur embrio tanaman enau (Arenga pinnata (Wurmb) Merr) secara in vitro dengan berbagai tingkat kematangan buah. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang. 147 hal.

Monnier, M. 1990. Zygotic embryo culture. S.S.Bhojwani (editor). Development ini crop science 19 plant tissue culture (applications and limitations). Elsevier Science Publishers B.V. Amsterdam, Netherlands. Pp. 336-390.

Nasir, M. 2002. Bioteknologi potensi dan keberhasilannya dalam bidang pertanian. PT Grafindo Persada. Jakarta. 286 hal.

Subardianto. 2001. Pengaruh konsentrasi NAA dan kinetin terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan tunas kenanga (Canangium odorata Baill) secara in vitro. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas  Andalas Padang. 44 hal.

Teixeira, J.B, M.R.Sondahl, and E.G.Kirby. 1993. Somatic embryogenesis from immature zygotic embryos of palm oil. Plant Cell, Tissue and Organ Culture no.34. Kluwer Academic Pulishers. Netherlands. Pp 227-233.

Untu, Z. 1995. Penggunaan zat pengatur tumbuh pada pembi­bitan pinang. Buletin Balitka no.24. Balai Penelitian Tanaman Kelapa. Menado. Hal. 60-65.

Wattimena,G.A. 1996. Zat pengatur tumbuh tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi. IPB Bogor. 247 hal.

Wiendi, N.A, G.A.Wattimena, dan L.W.Gunawan. 1991. Perbanyakan tanaman dalam bioteknologi tanaman. PAU Bioteknologi. IPB Bogor. 507 hal.

Yuriko, H. 2001. Kultur embrio pinang sirih (Areca catechu L.) secara in vitro pada beberapa tingkat kematangan buah. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang. 48 hal.

 

0 komentar:

Post a Comment